Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Budaya Membaca dan Gangguannya


Taufiq Ismail, penyair dan tokoh sastra Indonesia menuturkan salah satu keprihatinannya terhadap negeri Indonesia yakni terkait budaya membaca. Budaya membaca dari penduduk Indonesia masih begitu miris dan teriris. Terkait dengan pelajaran sastra, Taufiq Ismail yang melakukan studi komparasi mengenai banyaknya bacaan yang lunas dibaca oleh para pelajar di berbagai belahan dunia, mencapai satu konklusi bahwa budaya membaca pelajar Indonesia ialah generasi 0 buku. Hal ini mengindikasikan betapa rendahnya tingkat keterbacaan dari penduduk negeri ini.
Telah 66 tahun negeri Indonesia memproklamirkan kemerdekaan. Penjajahan yang salah satu divisi destruktifnya yaitu berupa pendidikan yang tidak dapat diakses oleh seluruh rakyat Indonesia. Penjajahan hanya memberikan keistimewaan mengenyam pendidikan bagi kalangan atas yang memiliki trah baik itu darah biru ataupun pegawai di pemerintah kolonial Belanda. Peran penting pendidikan bagi Indonesia untuk kemudian mendapat tempat dalam konstitusi negeri ini. Dalam UUD 1945 hasil amandemen yakni Pasal 31 ayat 3 disebutkan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Hal yang semakin memperkokoh mengenai pentingnya pendidikan bagi pembangunan jiwa dan raga yang utuh.
Salah satu parameter dari pendidikan ialah tingkat keterbacaan. Tingkat keterbacaan merupakan hulu bagi berbagai macam hilir. Sebut saja tingkat karya tulis yang dihasilkan, tingkat pengetahuan dari pelajar, dan sebagainya. Adalah ironis mengingat dari hasil studi yang dilakukan oleh Taufiq Ismail sehingga muncul istilah generasi 0 buku. Generasi 0 buku ini membawa implikasi yang dengan sastrais (namun satir) diungkap oleh Taufiq Ismail sebagai rabun membaca dan pincang menulis.
Terlebih lagi di era sekarang ini, budaya membaca memiliki hambatan yakni sekurangnya dari televisi dan internet. Televisi, kotak ajaib yang bisa jadi merupakan kotak pandora bagi budaya membaca. Massifikasi televisi dan budaya menonton televisi seperti diakui oleh Taufiq Ismail bahkan merupakan masalah global yang menggerus budaya baca di seluruh dunia. Bagaimana tampilan audio visual mampu memikat begitu banyak jiwa untuk menjadi kafilah di depan televisi dalam bilangan waktu yang intens. Magnet televisi begitu kuat untuk menghadirkan kafilah penonton layar kacanya. Dalam skala berlebih tontonan televisi menurut hemat Saya dapat dianalogikan dengan panggilan nyanyian para Siren yang dapat mengaramkan seseorang. Dalam mitologi Yunani, panggilan para Siren begitu memikat sehingga mengaburkan rasio dan menjadikan para pelaut menemui ajalnya.
Hambatan lainnya dari membaca yakni internet. Simak angka yang dituturkan oleh Rhenald Kasali berikut: Indonesia di awal abad 21 yakni 180 juta ponsel di saku penduduknya, 50% diantaranya smart phone yang layak berinternet. Ditambah dengan kegiatan freemium. Produk premium-free of charge seperti Google, Yahoo!, Facebook, Wikipedia, Detik.com, Kompas Online, Kaskus dan sebagainya. Pada bulan Agustus 2010, terdapat 26.792.780 peserta Facebook dari Indonesia. Berdasarkan data pada Juni 2010, penetrasi pemakai jejaring sosial Twitter tumbuh terbesar di Indonesia (20,8 % dari interner users). Internet yang telah meluas dan menjadi bagian dari kehidupan rakyat Indonesia merupakan potensi bagi penggerusan secara serius budaya baca. Tenggelam dalam kegaduhan dunia internet, baik itu dengan jaring pertemanan sosial dan fitur-fitur lainnya yang dapat diakses melalui internet, menjadikan jam dari kehidupan kita tercaplok dan kita pun terlupa dalam membaca.
Tantangan dari budaya membaca juga dapat hadir dalam sesuatu yang Saya istilahkan “Budaya membaca seadanya.” Budaya membaca seadanya menurut hemat Saya dapat mendangkalkan pemikiran. Apa itu Budaya membaca seadanya? Budaya membaca seadanya ialah hanya membaca potongan-potongan berita singkat. Kehadiran portal-portal berita di internet serta pencarian data via Google menurut pandangan Saya bisa jadi membentuk budaya membaca seadanya. Panjang tulisan dari satu artikel di portal berita internet biasanya singkat. Dikarenakan untuk memberikan informasi tentang hal yang diberitakan. Sedangkan konstruksi dari ide akan terputus dikarenakan sempitnya ruang yang disediakan. Dengan demikian berita-berita instan tersebut menjadi konsumsi. Apa akibatnya dalam jangka panjang? Membaca bukan sekedar berdampak sekarang (present), melainkan akan berimplikasi di hari depan.
Terbiasa membaca dalam info-info singkat tersebut akan membentuk adaptasi terhadap pola baca. Maka ketika muncul bacaan yang panjang dengan konstruksi ide yang berlapis akan muncul keengganan untuk membaca. Ah.. lebih enak membaca yang singkat-singkat saja, buat apa memusing-musingkan kepala; begitu menurut hemat Saya untaian kalimat yang dapat terlontar sebagai implikasi dari pembacaan berita-berita instan dan singkat. Jika demikian yang terbentuk dalam budaya baca di kebanyakan orang, akan berbias pada budaya tulis pula. Tulisan-tulisan yang hanya sepotongan kalimat akan menjadi gaya tulisan yang akrab dibaca. Apalagi hal tersebut secara tidak langsung didukung oleh Twitter (140 karakter), ataupun Facebook.
Terkait dengan tulisan yang diturunkan dengan kondisi baca tersebut, rasanya tidak perlu mengecilkan hati bagi mereka yang hobi menulis. Bolehlah saya kutipkan apa yang diungkap oleh Mohammad Hatta dalam otobiografinya:Kalau anggota-anggota biasa daripada pergerakan kita payah membaca isi Daulat Ra’yat, apakah pemandangan-pemandangan yang berdasarkan teori tidak mesti dimuat lagi? Itu merugikan bagi pergerakan kita! Bukan majalah ditarik ke bawah, melainkan orang banyak dihela ke atas. Payah membaca itu sama artinya dengan sport otak.
Apa yang diungkap oleh Hatta tersebut, merupakan pandangannya bahwa sudah semestinya bagi yang memiliki kemampuan dalam menulis untuk memberikan tambahan pengetahuan, tambahan pengertian, dan tambahan keinsafan kepada khalayak lainnya.
Melihat budaya membaca yang kian menipis ini, sudah seharusnya kita introspeksi pada diri masing-masing, sudahkah kita membaca setiap harinya? Sudahkah kita mengajak orang-orang di sekeliling kita untuk membaca? Perlu ada usaha kongkrit untuk menghilangkan sebutan “generasi 0 buku” yang melekat di Indonesia saat ini

Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/05/budaya-membaca-dan-gangguannya/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar