Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Membuat Program Pengoreksi Hasil Ujian pada Pascal

Beberapa pekan yang lalu saya mendapat tugas untuk membuat program pemeriksa hasil ujian, setelah tanya sana-sini sampai minta bantuan ke dosen akhirnya tugas itu bisa diselesaikan. Sedikit sharing untuk kalian semua yang mungkin juga mendapat tugas seperti ini, saya upload screenshot programnya

Program :

Outputnya :
 Semoga bisa bermanfaat..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bahasa dan Budaya Kekerasan


Di masyarakat ditemukan banyak kata menggambarkan kekerasan, seperti tabok, pukul, jitak. Bukankah itu semua menunjukkan dengan gamblang gambaran budaya masyarakat kita yang suka kekerasan?

Fenomena kekerasan dalam masyarakat kontemporer merupakan gugatan terhadap diktum bahwa bangsa ini adalah bangsa yang memiliki budaya luhur dan penuh sopan santun. Faktanya mengkonfirmasi bahwa peradaban-peradaban di dunia dibangun dengan begitu banyak darah, korban nyawa dan harta benda.

Demikian halnya di Indonesia, kata integrasi, kedamaian bukan barang sederhana yang mudah ditemukan, karena telah terjadi pergeseran-pergeseran nilai, struktur sosial dan kebudayaan yang mapan nampak tidak lagi ramah, kita gagal memberikan efek sejuk dan harmonis dalam masyarakat kita yang pada gilirannya menghasilkan frustrasi budaya. Salah satu yang signifikan berkontribusi dalam memicu kekerasan adalah persoalan bahasa. Lalu, bahasa mendamaikan atau memicu kekerasan?

Kesadaran berbahasa
Bahasa adalah bagian terpenting membentuk budaya sebuah bangsa. Secara terus menerus, bahasa merupakan piranti sosial yang mampu menjadikan masyarakat memiliki identitas. Melalui komunikasi oleh anggota masyarakat bahasa berperan selain sebagai alat komunikasi yang menunjukkan identitas dan karakter seseorang, tinggi rendahnya kualitas komunikasi lisan maupun tulisan seseorang dapat dilihat dari bahasa yang digunakan.

Semakin baik bahasa yang digunakan dalam komunikasi oleh pembicara maupun penulis, maka semakin mudah pula pendengar dan pembaca mendapatkan maksud dari pesan tersebut. Sebaliknya, apabila pembicara atau penulis menggunakan bahasa yang asal-asalan bahkan tidak sesuai dengan struktur kalimat yang seharusnya, maka interpretasi dari makna ungkapan tersebut akan lain dari apa yang diinginkan dan tidak jarang akan menimbulkan konflik serta kekerasan.

Dalam berkomunikasi verbal maupun tekstual, masyarakat cenderung mengunakan bahasa yang serampangan dan asal-asalan, hal ini diakibatkan karena komunikan menginginkan kemudahan dalam memilih kalimat yang digunakan. Tetapi kalimat tersebut tanpa disadari menimbulkan arti berbeda bagi pendengar dan pembaca. Kesalahan penggunaan kata dalam bahasa lisan maupun tulisan akan berakibat fatal bagi makna yang terkandung, apalagi penghilangan beberapa kata dalam suatu ungkapan dan kalimat tertentu secara langsung akan menimbulkan interpretasi yang berbeda dari pembaca dan pendengar.

Penggunaan bahasa yang tidak tepat sering menimbulkan konflik, sebab setiap kata yang menjadi ungkapan mengandung makna dan makna itu terbentuk berdasarkan persepsi dan interpretasi orang yang terlibat dalam proses komunikasi. Ketidaktepatan pilihan kata yang digunakan akan menghasilkan persepsi yang tidak sesuai dengan harapan para komunikan. Kesalahan persepsi akan menjadi hambatan yang besar dalam proses komunikasi, bila hambatan yang ada tidak dikelola secara baik maka akan menimbulkan konflik, permusuhan, dan bahkan perang.

Beberapa waktu lalu, kita mendengar penggunaan kata “bangsat” dan “setan “oleh anggota DPR telah memicu timbulnya konflik antara elit politik di Indonesia. Apapun alasannya, penggunaan kata kasar oleh anggota DPR yang terhormat tidak bisa diterima. Anggota DPR seharusnya menggunakan bahasa yang santun sebab keberadaan mereka merupakan representasi dari rakyat Indonesia. Mereka harus memberikan contoh yang baik kepada publik tentang bagaimana berkomunikasi yang baik. Mereka berbicara bukan mewakili suara mereka sendiri tetapi mereka mewakili suara rakyat sebab mereka dipilih secara langsung oleh rakyat. Wajar saja bila masyarakat memprotes penggunaan kata “bangsat” dan “setan” sebab kedua makna kata itu sangat bertentangan dengan identitas terhormat yang melekat pada anggota dewan. 

Bahasa  adalah nafas dalam komunikasi, karena tidak ada komunikasi dalam situasi apapun yang lepas dari bahasa sebagai alatnya. Oleh karenanya, bahasa merupakan bagian penting dari kehidupan. Orang tidak bisa hidup tanpa bahasa sebab dalam setiap gerak kehidupan manusia berkaitan dengan bahasa. Karena begitu dekatnya hubungan bahasa dan manusia, sebagian dari kita cenderung kurang menyadari bahasa yang digunakan. Salah satu cara untuk meningkatkan kesadaran bahasa adalah mempelajari bahasa.

Bahasa dan identitas bahasa sangat berkaitan erat dengan penggunanya. Bahkan bahasa dapat merepresentasikan identitas penggunanya. Kata-kata yang terucap dari mulut seseorang dapat memberikan gambaran karakter, kepribadian, sikap, dan pandangan hidup. Jika seseorang menggunakan bahasa kasar maka ia cenderung mempunyai karakter kasar pula. Sebaliknya, jika menggunakan bahasa sopan, maka ia cenderung mempunyai karakter yang sopan pula. Dengan demikian perlunya kesadaran berbahasa yang baik dan mampu merepresentasikan citra diri dan karakter kita sebagai bangsa yang sopan dan beradab.

Kekerasan simbolik
Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan kata-kata kasar kepada seseorang. Kekerasan simbolik sama dampaknya dengan kekerasan fisik, kekerasan simbolik dapat merusak jiwa dan kepribadian seseorang. Lebih parahnya lagi, korban kekerasan simbolik cenderung mewarisi pengalaman kekerasan simboliknya yang alaminya. Akibatnya, orang yang sudah terbiasa dengan kekerasan simbolik akan cenderung mempunyai karakter kasar, emosional, anarkis, dan brutal.

Dalam realitas di masyarakat dapat ditemukan betapa banyak kata atau istilah yang menggambarkan kekerasan, seperti tabok, pukul, jitak, dan lain-lain. Mengapa demikian banyak kata yang berhubungan dengan tindak kekerasan tersebut?  Mengikuti teori Boas tentang hubungan bahasa dan budaya, bukankah itu semua menunjukkan dengan gamblang gambaran budaya masyarakat kita yang suka kekerasan?

Berbahasa selalu bersifat publik, artinya bahasa selalu tumbuh bersama di tengah masyarakat. Wittgenstein dalam teori Language Game-nya, menyatakan manusia memperlakukan  bahasa bagaikan sebuah permainan di mana ada pemain, penonton dan wasit. Sebuah permainan selalu memiliki aturan yang disepakati. Demikian juga berbahasa, tak sesiapapun bisa dengan seenaknya dan secara anarkis memberi makna dan memahami kata apalagi memaksakan makna sesuai yang dikehendaki tanpa melalui proses konvensi yang merupakan ciri fundamental bahasa.

Kita sering menjumpai berbagai kalimat yang sesungguhnya ambigu secara semantik dan salah penempatan secara pragmatik serta lebih bersifat mendiskreditkan seseorang atau komunitas tertentu ditempat-tempat umum serta kantor-kantor baik pemerintah maupun swasta. Bahkan ironisnya, kalimat-kalimat tersebut justru sering juga kita jumpai di institusi pendidikan dan bahkan di lembaga yang bergerak khusus di bidang bahasa. Kalimat-kalimat tersebut antara lain sebagai berikut:

“Pemulung masuk digebuk”, “Ngebut Benjol”, “Dilarang Kencing Di sini, Kecuali Anjing!”, “Masuk Tanpa salam, Keluar Tanpa Kepala”, “Dilarang Merokok”, “Tidak Menerima Sumbangan Dalam Bentuk Apapun”, “Ada uang Ada barang” “Tamu Harus Lapor!”, “Yang Membawa HP Harus Dimatikan”

Masih banyak kalimat-kalimat yang sengaja ditulis oleh masyarakat dalam kondisi tertentu yang bersifat ambigu dan kesannya merendahkan salah satu pihak dari proses komunikasi ini. Hal-hal diatas tentunya menimbulkan tanda tanya yang besar buat kita, apakah masih layak bangsa ini disebut sebagai bangsa yang beradab, bangsa yang mengedepankan kesopanan, keluwesan, serta selalu santun dalam menggunakan kata dan kalimat?
Maka tidak aneh bila kekerasan di Indonesia sudah menjadi budaya yang terus menerus memperkuat akarnya karena perilaku sehari-hari kita sendiri. Oleh karena itu perhatian orang tua dalam mendidik, berperilaku dan bertutur katalah yang amat berperan penting dalam membangun generasi bangsa selanjutnya yang mungkin bisa mengembalikan julukan bangsa ini yang sering diberikan oleh orang-orang asing yaitu “Bangsa yang santun dan ramah”.

Sumber : http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=225774:bahasa-dan-budaya-kekerasan&catid=25:artikel&Itemid=44

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Budaya Pacaran di Kalangan Remaja


Sebagaimana yang telah kita ketahui istilah pacaran ini dulu sangatlah asing dan tak dikenal oleh para remaja seperti sekarang ini, namun pada dewasanya pacaran sudah merebak bak jamur di musim penghujan baik itu dalam lingkup kota maupun desa pada kalangan remaja di abad ini. Para remaja ini seolah membuat suatu tradisi kebudayaan baru yang dalam hal ini mengusung pacaran sebagai suatu budaya pada masanya. Sebenarnya mungkin itu adalah sautu kewajaran yang biasa dalam pergaulan remaja kini bahkan pacaran ini sekarang dianggap sebagai suatu kewajiban dalam prosesi pergaulan mereka. Padahal ketika dahulu prosesi pacaran ini tidaklah ada bahkan khususnya di Indonesia, pacaran itu dianggap sebagai suatu hal yang dianggap tabu dan bahkan sangat dilarang karena tidak sejalan dengan nilai dan norma khususnya dalam pandangan agama yang pada saat itu sifatnya sangat mengikat kuat terhadap masyarakat. Lalu kenapa pacaran sekarang seolah menjadi tradisi yang sudah tak mungkin lepas dari kehidupan remaja? Sebelum membahas hal tersebut, kebudayaan sebagaimana yang telah kita ketahui adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa manusia atau dalam pengertian lain, yakni berupa keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar. sedangkan pacaran menurut para remaja sendiri adalah suatu ikatan perasaan cinta dan kasih antara dua individu yakni lelaki dan perempuan untuk menjalin suatu hubungan yang lebih dekat yang pada esensinya untuk saling mengena lebi jauh untuk menuju proses upacara sacral (menikah) atau untuk mencari pasangan hidup yang dianggap cocok. Maka dari pendefinisian itulah pacaran dinggap sebagi salah satu budaya masyarakat khususnya remaja karena merupakan hasil ide, gagasan, dan aktivitas tingkah laku keseharian mereka. Sehingga pada efeknya sekarang banyak para remaja menganggap bahwa pacaran merupakan suatu hal yang wajib sebagai jalan mendapat jodoh. Pada awalnya pacaran ini merupakan seperti yang telah dikemukakan diatas sebagai prosesi mengenal satu sama lain dengan cara mengikat dan menyatakan hubungan mereka kedalam bentuk yang bisa dikatakan formal agar dapat mengenal secara intim. Namun pada perkembangannya pacaran disini seolah menjadi mode, bila seorang belum pernah pacaran bisa dikatakan ketinggalan zaman. Hal seperti itulah kiranya yang membuat remaja membangun persepsi wajibnya pacaran bagi kalangan mereka. Kegiatan pacaran ini sebenarnya implikasi dari rasa kebutuhan seseorang atau lebih karena kekurangan mereka dalam mendapat perhatian dan pengertian sebagai makhluk sosial, sehingga timbulah suatu kekuatan atau dorongan alasan yang menyebabkan orang tersebut bertindak untuk memenuhi kebutuhannya, dalam hal ini pacaran Adapun pada dasarnya sekarang motif sosiogenetis yang asalnya hanya menekankan pada individu untuk ingin dimengerti orang banyak menjadi ingin diakuinya individu pada daerah tersebut. Sebagai contohnya hari ini seseorang akan merasa dirinya minder terhadap orang lain yang mempunyai pasangan (pacar) sedangkan ia tidak. Sehingga dapat di gambarkan sebagai berikut: Kebutuhan Motiv Perilaku Bersosial. Sehingga pada penilaian diatas lingkungan sosial sudah barang tentu sangat mempengaruhi seseorang. Terkait masalah lingkungan sosial yang terjadi, ternyata pacaran sendiri sebenarnya sudah diperkenalkan kepada para remaja antara lain karena pengaruh keluarga khususnya keluarga perkotaan. Dimana sebagian orang tua menganggap jika ingin mendapatkan pasangan hidup yang cocok baiknya harus saling mengenal secara lebih intim lebih dahulu untuk mengetahui sifat-sifatnya seperti apa, apakah akan sejalan dan cocok ataukah tidak dengan menggunakan pacaran sebagai jembatan prosesi tersebut. Akibatnya sekarang dengan adanya dorongan itupun pacaran akhirnya berkembang dari suatu budaya menjadi sebuah tradisi. Budaya pacaran ini pada masyarakat Indonesia dulu tidak terlalu berkembang melesat seperti sekarang. Salah satu hal yang menjadikan budaya pacaran ini menjadi tradisi adalah pada khalayak remaja adalah tak lain karena pengaruh media teknologi abad sekarang yang selama ini serta merta menyoroti kegiatan-kegiatan remaja yang di dalamnya lebih banyak terfokus kepada pacaran tersebut. Sehingga pada efeknya melalui media para remaja menganggap pacaran sebagai tren atau mode berbudaya pada abad ini. Awalnya pacaran tidak semudah itu merangsek masuk kedalam culture masyarakat Indonesia karena dianggap tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat khususnya umat beragama Islam. Akan tetapi pacaran yang sebelumnya orang menganggap sebagai sosiopatik atau sakit secara sosial karena menyimpang terhadap norma, sekarang perlahan melumer dan berakulturasi dengan budaya lingkungan sekitar yang karena pengaruhnya ini dibantu oleh media sebagai produk kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi dan urbanisasi pada masyarakat modern yang dimana amalgamasi (sambungan, campuran, keluluhan) yang kompleks terjadi dan menghasilkan pacaran sebagai sebuah tradisi kebudayaan pada para remaja khususnya pada perkotaan. Maka dalam hal ini penulis menganggap bahwa pacaran juga merupakan tingkah laku yang dahulu dianggap menyimpang terhadap norma, yang kemudian sejatinya sekarang menjadi meluas pada masyarakat sehingga berlangsunglah deviasi situasional yang kumulatif. Akan tetapi sebenarnya pacaran tidaklah terlalu menyimpang terlalu jauh selama para remaja masih bisa memegang teguh terhadap nilai budaya masyarakat yang ada. Sebagai kesimpulan akhir penulis berpendapat bahwa pacaran pada buktinya menyatakan adanya inter-dependensi (saling ketergantungan) atau ada ketergantungan-organik diantara disorganisasi sosial dan pribadi sehingga mempengaruhi kebudayaan sebelumnya pada kebudayaan sekarang dengan mengaitkan pacaran sebagai budaya dan tradisi kontemporer. Pacaran ini pun pada esensinya sangat dipengaruhi oleh media sebagai hasil teknologi yang menyebabkan proses asimilasi menjadi begitu mudah karena lingkup asimilasi kini menjangkau pada ideologi dan budaya setiap individu dengan kemungkinan waktu bersamaan secara kumlatif atau menyeluruh, sehingga terjadilah anggapan ataupun pandangan masyarakat khususnya remaja mengenai pacaran sebagai prosesi kehidupan yang harus dicoba dan dilalui
Anggapan inilah yang perlu kita perhatikan dan coba untuk diluruskan. Karena sudah terlalu banyak kasus yang merefleksikan bahwa pacaran di kalangan remaja lebih banyak sisi negatifnya dibanding sisi positifnya.

Sumber : http://priel12.wordpress.com/sejarah-candi-prambanan/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Budaya Membaca dan Gangguannya


Taufiq Ismail, penyair dan tokoh sastra Indonesia menuturkan salah satu keprihatinannya terhadap negeri Indonesia yakni terkait budaya membaca. Budaya membaca dari penduduk Indonesia masih begitu miris dan teriris. Terkait dengan pelajaran sastra, Taufiq Ismail yang melakukan studi komparasi mengenai banyaknya bacaan yang lunas dibaca oleh para pelajar di berbagai belahan dunia, mencapai satu konklusi bahwa budaya membaca pelajar Indonesia ialah generasi 0 buku. Hal ini mengindikasikan betapa rendahnya tingkat keterbacaan dari penduduk negeri ini.
Telah 66 tahun negeri Indonesia memproklamirkan kemerdekaan. Penjajahan yang salah satu divisi destruktifnya yaitu berupa pendidikan yang tidak dapat diakses oleh seluruh rakyat Indonesia. Penjajahan hanya memberikan keistimewaan mengenyam pendidikan bagi kalangan atas yang memiliki trah baik itu darah biru ataupun pegawai di pemerintah kolonial Belanda. Peran penting pendidikan bagi Indonesia untuk kemudian mendapat tempat dalam konstitusi negeri ini. Dalam UUD 1945 hasil amandemen yakni Pasal 31 ayat 3 disebutkan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Hal yang semakin memperkokoh mengenai pentingnya pendidikan bagi pembangunan jiwa dan raga yang utuh.
Salah satu parameter dari pendidikan ialah tingkat keterbacaan. Tingkat keterbacaan merupakan hulu bagi berbagai macam hilir. Sebut saja tingkat karya tulis yang dihasilkan, tingkat pengetahuan dari pelajar, dan sebagainya. Adalah ironis mengingat dari hasil studi yang dilakukan oleh Taufiq Ismail sehingga muncul istilah generasi 0 buku. Generasi 0 buku ini membawa implikasi yang dengan sastrais (namun satir) diungkap oleh Taufiq Ismail sebagai rabun membaca dan pincang menulis.
Terlebih lagi di era sekarang ini, budaya membaca memiliki hambatan yakni sekurangnya dari televisi dan internet. Televisi, kotak ajaib yang bisa jadi merupakan kotak pandora bagi budaya membaca. Massifikasi televisi dan budaya menonton televisi seperti diakui oleh Taufiq Ismail bahkan merupakan masalah global yang menggerus budaya baca di seluruh dunia. Bagaimana tampilan audio visual mampu memikat begitu banyak jiwa untuk menjadi kafilah di depan televisi dalam bilangan waktu yang intens. Magnet televisi begitu kuat untuk menghadirkan kafilah penonton layar kacanya. Dalam skala berlebih tontonan televisi menurut hemat Saya dapat dianalogikan dengan panggilan nyanyian para Siren yang dapat mengaramkan seseorang. Dalam mitologi Yunani, panggilan para Siren begitu memikat sehingga mengaburkan rasio dan menjadikan para pelaut menemui ajalnya.
Hambatan lainnya dari membaca yakni internet. Simak angka yang dituturkan oleh Rhenald Kasali berikut: Indonesia di awal abad 21 yakni 180 juta ponsel di saku penduduknya, 50% diantaranya smart phone yang layak berinternet. Ditambah dengan kegiatan freemium. Produk premium-free of charge seperti Google, Yahoo!, Facebook, Wikipedia, Detik.com, Kompas Online, Kaskus dan sebagainya. Pada bulan Agustus 2010, terdapat 26.792.780 peserta Facebook dari Indonesia. Berdasarkan data pada Juni 2010, penetrasi pemakai jejaring sosial Twitter tumbuh terbesar di Indonesia (20,8 % dari interner users). Internet yang telah meluas dan menjadi bagian dari kehidupan rakyat Indonesia merupakan potensi bagi penggerusan secara serius budaya baca. Tenggelam dalam kegaduhan dunia internet, baik itu dengan jaring pertemanan sosial dan fitur-fitur lainnya yang dapat diakses melalui internet, menjadikan jam dari kehidupan kita tercaplok dan kita pun terlupa dalam membaca.
Tantangan dari budaya membaca juga dapat hadir dalam sesuatu yang Saya istilahkan “Budaya membaca seadanya.” Budaya membaca seadanya menurut hemat Saya dapat mendangkalkan pemikiran. Apa itu Budaya membaca seadanya? Budaya membaca seadanya ialah hanya membaca potongan-potongan berita singkat. Kehadiran portal-portal berita di internet serta pencarian data via Google menurut pandangan Saya bisa jadi membentuk budaya membaca seadanya. Panjang tulisan dari satu artikel di portal berita internet biasanya singkat. Dikarenakan untuk memberikan informasi tentang hal yang diberitakan. Sedangkan konstruksi dari ide akan terputus dikarenakan sempitnya ruang yang disediakan. Dengan demikian berita-berita instan tersebut menjadi konsumsi. Apa akibatnya dalam jangka panjang? Membaca bukan sekedar berdampak sekarang (present), melainkan akan berimplikasi di hari depan.
Terbiasa membaca dalam info-info singkat tersebut akan membentuk adaptasi terhadap pola baca. Maka ketika muncul bacaan yang panjang dengan konstruksi ide yang berlapis akan muncul keengganan untuk membaca. Ah.. lebih enak membaca yang singkat-singkat saja, buat apa memusing-musingkan kepala; begitu menurut hemat Saya untaian kalimat yang dapat terlontar sebagai implikasi dari pembacaan berita-berita instan dan singkat. Jika demikian yang terbentuk dalam budaya baca di kebanyakan orang, akan berbias pada budaya tulis pula. Tulisan-tulisan yang hanya sepotongan kalimat akan menjadi gaya tulisan yang akrab dibaca. Apalagi hal tersebut secara tidak langsung didukung oleh Twitter (140 karakter), ataupun Facebook.
Terkait dengan tulisan yang diturunkan dengan kondisi baca tersebut, rasanya tidak perlu mengecilkan hati bagi mereka yang hobi menulis. Bolehlah saya kutipkan apa yang diungkap oleh Mohammad Hatta dalam otobiografinya:Kalau anggota-anggota biasa daripada pergerakan kita payah membaca isi Daulat Ra’yat, apakah pemandangan-pemandangan yang berdasarkan teori tidak mesti dimuat lagi? Itu merugikan bagi pergerakan kita! Bukan majalah ditarik ke bawah, melainkan orang banyak dihela ke atas. Payah membaca itu sama artinya dengan sport otak.
Apa yang diungkap oleh Hatta tersebut, merupakan pandangannya bahwa sudah semestinya bagi yang memiliki kemampuan dalam menulis untuk memberikan tambahan pengetahuan, tambahan pengertian, dan tambahan keinsafan kepada khalayak lainnya.
Melihat budaya membaca yang kian menipis ini, sudah seharusnya kita introspeksi pada diri masing-masing, sudahkah kita membaca setiap harinya? Sudahkah kita mengajak orang-orang di sekeliling kita untuk membaca? Perlu ada usaha kongkrit untuk menghilangkan sebutan “generasi 0 buku” yang melekat di Indonesia saat ini

Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/05/budaya-membaca-dan-gangguannya/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hallyu Menantang Indonesia


Istilah hallyu tidak asing lagi bagi para penikmat K-Pop (budaya populer asal Korea Selatan). Hallyu atau gelombang budaya dari Korea Selatan (dalam tulisan ini selanjutnya disebut Korea saja) sangat terasa di kehidupan generasi muda saat ini. Anak muda di negeri ini seakan terhipnotis oleh K-Pop. Secara instan menjamur boyband dan girlband Indonesia di panggung-panggung hiburan.
Salah satu bukti anak muda Indonesia terjangkit K-Pop, dengan dibanjirinya antrean penjualan tiket konser boyband asal Korea, Super Junior, oleh anak muda kita yang dikabarkan tiket sudah ludes terjual (7/4/2012). Lidah para remaja lincah melafalkan bahasa Korea dari setiap lirik lagu K-Pop.
Akibatnya banyak remaja berminat belajar bahasa Korea secara intensif. Fashion dan penampilan gaya Korea memiliki banyak pengikut di Indonesia. Gelombang Korea di Indonesia diawali masuknya berbagai drama Korea di layar televisi tiap rumah tangga.
Namun, yang paling terasa ledakannya adalah keberadaan boyband dan girlband Korea yang mampu meneguhkan budaya mereka bersama arus globalisasi. Musik sarat akan budaya populer. Musik menjadi sesuatu yang disukai banyak orang.
Pertunjukan musik memang bisa disinergikan dengan turisme. Oleh karena itu, musik Korea mampu menjadi aset bersifat kebudayaan maupun komersial.

Soft Power
Gelombang K-Pop di dunia tidak terlepas dari  dukungan pemerintah Korea Selatan. Komitmen tinggi tidak hanya dari industri musik Korea saja. Mereka menggandeng pemerintah dalam penggarapannya. Sejak 20 tahun lalu, rancangan Korea di masa depan agar mendunia dilakukan dengan mengandalkan budaya yang mereka miliki sebagai senjata.
Di tingkat kebijakan publik, untuk memajukan pasar musiknya di tingkat global Korea Selatan mengambil kebijakan antibarat. Pemerintah melarang musik asing dan dikembangkanlah musik yang harus mencerminkan identitas nasional.
Didukung akarnya yang kuat, ditunjang oleh manajemen yang baik dan dukungan pemerintah, Korea berhasil menapaki industri musik dunia. Ini tentu berasal dari kerja keras dan kecerdasan membaca pasar.
Korea memang sedang menjadi tren entertainment, dalam hal ini K-Pop. Budaya populer Korea seakan menjadi soft power bagi negara Korea Selatan. Bersandar pada K-Pop, Korea melakukan inflitrasi budaya di berbagai negara. Dalam konsep hubungan internasional, kekuasaan lunak mencakup pengaruh budaya seperti demam K-Pop saat ini.
Konsep soft power diperkenalkan oleh Joseph Nye dari Harvard University, yaitu penonjolan cara-cara nonmiliter dalam memengaruhi negara lain atau memoles citra melalui kekuatan politik, ekonomi dan kebudayaan. Infiltrasi dilakukan bukan dengan pemaksaan, ancaman maupun kekuatan militer.
Dukungan arus globalisasi mampu menekuk dunia yang luas dalam satu lipatan, dan serangan soft power Korea lewat K-Pop tak mampu ditolak begitu saja oleh dunia Internasional. Dengan musik yang merupakan wujud industri kreatif, Korea bisa menjual 13 sektor industri kreatif lainnya di Indonesia dan di  beberapa negara Asia.
Pedoman Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia yang diterbitkan Kementerian Perdagangan menyatakan ada 14 subsektor industri kreatif, yaitu periklanan, penerbitan dan percetakan, TV dan radio, film, video dan fotografi, musik, seni pertunjukan, arsitektur, desain, fashion, kerajinan, pasar barang seni, permainan interaktif, layanan komputer dan piranti lunak serta penelitian dan pengembangan, serta rencana penambahan subsektor kuliner.
Musik K-Pop dengan penampilan artisnya membawa efek domino bagi perekonomian Korea. Situs kompas.com (15/1/2012) memberitakan saat ini sederet butik kosmetik Korea merangsek masuk ke Indonesia, toko roti dan jaringan hypermarket Korea mulai tumbuh di Jakarta, produk otomotif dan gadget Korea mulai mengepung kehidupan kita.
Bahkan, “kampung” Korea juga tumbuh lengkap dengan fasilitas seperti bank, klinik, salon, restoran, hotel, tempat indekos, supermarket dan toko perlengkapan golf Korea di Jalan Senayan, Jakarta, serta Ruko Pinangsia Office Park, Karawaci, Banten. Berdasarkan data Pusat Kebudayaan Korea di Indonesia, saat ini ada 1.300 kantor cabang perusahaan Korea yang didirikan di Indonesia.

Potensi Indonesia
Bukankah Indonesia memiliki potensi untuk terjun dalam ranah budaya populer seperti yang dilakukan Korea? Tinggal bagaimana dukungan pemerintah kita dan manajemen industri musik menyulap industri kreatif Indonesia. Karakter identitas budaya Indonesia yang seharusnya mendarah daging pada para pemuda menjadi pekerjaan rumah tersendiri dalam rangka meluncurkan soft power Indonesia di karpet internasional.
Dunia hiburan kita masih belum maksimal menjadi soft power baru dalam pergaulan negara-negara di dunia selama kita masih mengecap budaya latah dan menjadi imitasi hasil infiltrasi negara lain. Mengikuti penambang lain yang sudah lebih dahulu mengenal medan merupakan perkara logis. Tidak salah jika kaum muda Indonesia berkeinginan fokus pada hal yang serupa dengan K-Pop.
Kita harus mulai bangkit dengan kemungkinan mendapatkan emas yang lebih besar dibandingkan yang diperoleh penambang sebelumnya. Meminjam pendekatan pemasaran, diferensiasi menjadi faktor unik dan nilai tambah untuk menarik perhatian konsumen industri kreatif Indonesia. Mengutip dimensi diferensiasi dari Hermawan Kartajaya, jika anak bangsa ingin populer layaknya boyband dan girlband Korea, mereka perlu memenuhi dimensi konteks, konten dan infrastruktur.
Pertama, dari sisi konten industri musik harus mampu menawarkan bagian tangible produk musiknya seperti gaya ketimuran yang patut kita bawa ke kancah internasional. Kedua, sisi konteks menawarkan nilai pada para penikmat produk budaya Indonesia. Penyelenggaraan festival Indonesia di beberapa negara dengan menyajikan pertunjukan seni budaya, kuliner, serta berbagai produk/barang Indonesia yang dijual dapat membangun komunitas penikmat budaya Indonesia yang loyal. Ketiga, sisi insfratruktur menunjuk pada kapabilitas sumber daya manusianya.
Kesimpulannya budaya Indonesia bisa jauh lebih baik dari budaya Korea asalkan kita sendiri mampu memenuhi berbagai aspek diatas tadi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Manusia Budak Teknologi




             
        
Teknologi adalah metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis, ilmu pengetahuan terapan atau dapat pula diterjemahkan sebagai keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yg diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia. Sebagian beranggapan teknologi adalah barang atau sesuatu yang baru. Namun, teknologi itu telah berumur sangat panjang dan merupakan suatu gejala kontemporer. Setiap zaman memiliki teknologinya sendiri. Perkembangan teknologi berlangsung secara evolutif. Sejak zaman Romawi Kuno pemikiran dan hasil kebudayaan telah nampak berorientasi menuju bidang teknologi. Secara etimologis, akar kata teknologi adalah "techne" yang berarti serangkaian prinsip atau metode rasional yang berkaitan dengan pembuatan suatu objek, atau kecakapan tertentu, atau pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau metode dan seni. Istilah teknologi sendiri untuk pertama kali dipakai oleh Philips pada tahun 1706 dalam sebuah buku berjudul Teknologi: Diskripsi Tentang Seni-Seni, Khususnya Mesin (Technology: A Description Of The Arts, Especially The Mechanical).
Dalam bentuk yang paling sederhana, kemajuan teknologi dihasilkan dari pengembangan cara-cara lama atau penemuan metode baru dalam menyelesaikan tugas-tugas tradisional seperti bercocok tanam, membuat baju, atau membangun rumah.
Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi pun semakin maju. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa kini segala sesuatu dapat diselesaikan dengan teknologi. Komunikasi jarak jauh yang dulunya hanya bisa dilakukan lewat surat, kini bisa dilakukan dengan mengirim SMS (Short Message Service) melalui handphone atau dengan mengirim E-mail (Electronic-Mail). Tak sampai 1 menit, pesan yang kita kirim akan sampai pada orang yang kita tuju. Semua hal kini terasa sangat mudah berkat teknologi. Bahkan, untuk membersihkan debu di rumah pun kita tidak perlu menggunakan sapu lagi sebab kini masyarakat telah mengenal vacuum cleaner. Perkembangan teknologi tersebut menggambarkan suatu keberhasilan manusia dalam meningkatkan kemampuan berpikir mereka untuk menyelesaikan semua pekerjaan atau masalah yang dihadapi sehari-hari. Ini merupakan hal yang positif karena peningkatan teknologi terlihat sangat signifikan terutama pada satu dasawarsa terakhir ini. Namun tidak semua hal positif yang muncul dari perkembangan ini, tidak sedikit dampak negatif yang muncul akibat perkembangan teknologi saat ini.
            Manusia sebagai pencipta teknologi diharapkan dapat memaksimalkan penggunaan teknologi untuk hal-hal yang positif. Akan tetapi masih ada saja manusia yang dengan sengaja menggunakan kecanggihan teknologi untuk melakukan suatu tindak kejahatan yang pada akhirnya menguntungkan oknum tersebut. Seperti kasus penyedotan pulsa oleh oknum-oknum yang kini marak terjadi di Indonesia, kasus pencurian kartu ATM dan pembobolan pin ATM, atau bahkan pembobolan dan pencurian data-data suatu badan pemerintahan atau perusahaan oleh para hacker. Dan salah satu kasus yang cukup menggemparkan adalah penculikan anak-anak ABG (Anak Baru Gede) melalui jejaring sosial Facebook.

            Semakin hari manusia seakan diperbudak oleh teknologi. Teknologi tidak lagi dianggap sebagai salah satu cara untuk memudahkan pekerjaan manusia, tetapi dianggap sebagai “hidup dan mati” seseorang. Sebagai contoh BB ( Blackberry). Banyak pengguna BB yang pada kenyataannya berlaku berlebihan atau “autis” bila sedang menggunakan alat tersebut. Sepanjang hari mata si pengguna BB hanya akan tertuju pada alat tersebut tanpa memedulikan keadaan sekitarnya. Bahkan tidak sedikitpun tangannya melepaskan alat tersebut.  Bila baterai dari BB mulai melemah (drop), si pengguna akan terlihat “panik” mencari tempat dan charger untuk mengisi baterai BB-nya, seolah-olah hidupnya akan berakhir ketika baterai BB-nya habis. Salah satu kasus nyata yang pernah saya alami tepatnya pada bulan Juni lalu, seorang anak dengan ibunya akan berangkat menuju salah satu perusahaan untuk melamar pekerjaan. Di dalam angkutan umum, anak tersebut terlihat terus-menerus memainkan BB-nya, saat ibunya bertanya tentang berkas lamaran yang akan diserahkan ke perusahaan, ternyata lamaran tersebut lupa dibawa. Kontan si ibu marah, karena menurut perkataannya anak tersebut terus-terusan memainkan BB-nya mulai dari bangun tidur, setelah mandi, sampai sebelum berangkat melamar pekerjaan pada hari itu. Inilah yang membuat manusia yang notabene adalah makhluk hidup terlihat rela diperbudak oleh benda mati yang bahkan sewaktu-waktu bisa rusak. Banyak masyarakat yang memanfaatkan teknologi secara tidak tepat dan efisien sesuai dengan kebutuhannya. Beberapa bahkan mulai merasa malas untuk melakukan hal-hal sepele dengan alasan “mengapa tidak memanfaatkan teknologi?”. Manusia kini tidak lagi peduli dengan lingkungan sekitarnya, sosialisasi secara langsung antar individu pun semakin rendah karena munculnya social network. Dan hal yang telah menjadi anggapan banyak orang saat ini yaitu manusia sekarang tidak lagi hidup di dunia nyata melainkan hidup di dunia yang dibuatnya sendiri yaitu dunia teknologi. Hal tersebut pernah diungkapkan dalam sebuah buku yaitu “The Man Made The World”. Memang kedengarannya sangat baik, namun pada kenyataannya dunia yang kita buat ternyata memperbudak kita dan membuat kita terlena. Alat-alat tradisional perlahan-lahan mulai ditinggalkan, dan dianggap “jadul”. Pada perusahaan-perusahaan maupun pabrik sudah mulai berpikir demikian, itu terlihat dari tingginya jumlah PHK di perusahaan yang mayoritas beralasan karena penghematan anggaran. Padahal perusahaan tersebut beralih ke penggunaan buruh baru yaitu “mesin” yang dianggap lebih cepat dalam menyelesaikan pekerjaan dibanding dengan harus menggaji ribuan orang untuk menyelesaikan pekerjaan yang sama. “Kualitas” dari produksi pun mulai dikesampingkan dan digantikan dengan “kuantitas” dari produksi yang sudah tentu akan meningkatkan keuntungan yang didapat.

            Sebuah buku tentang teori evolusi pernah menyebutkan bahwa beberapa ratus tahun kedepan mungkin manusia dan bumi telah berubah atau berevolusi menjadi sesuatu yang sangat berbeda. Bumi akan sepenuhnya menggunakan teknologi dan manusia hanya tinggal duduk menyaksikan teknologi itu bekerja untuk dirinya. Dan bentuk manusia pada saat itu akan seperti alien dengan kepala besar akibat dari perkembangan otak manusia yang teraus berpikir mengembangkan teknologi dan tubuh yang kecil karena tidak pernah bergerak dengan tangan yang hanya memiliki satu jari karena semua pekerjaan manusia dapat diselesaikan hanya dengan menekan tombol. Dengan perkembangan teknologi yang semakin hari semakin canggih ini, apakah teori evolusi pada buku tersebut akan terbukti? Yang jelas, manusia sebagai pencipta teknologi harus bisa mengendalikan dan memanfaatkan sebaik mungkin agar manusia itu sendiri tidak menjadi “budak” teknologi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS