Di masyarakat ditemukan banyak kata
menggambarkan kekerasan, seperti tabok, pukul, jitak. Bukankah itu semua
menunjukkan dengan gamblang gambaran budaya masyarakat kita yang suka
kekerasan?
Fenomena kekerasan dalam masyarakat kontemporer merupakan gugatan terhadap diktum bahwa bangsa ini adalah bangsa yang memiliki budaya luhur dan penuh sopan santun. Faktanya mengkonfirmasi bahwa peradaban-peradaban di dunia dibangun dengan begitu banyak darah, korban nyawa dan harta benda.
Demikian halnya di Indonesia, kata integrasi, kedamaian bukan barang sederhana yang mudah ditemukan, karena telah terjadi pergeseran-pergeseran nilai, struktur sosial dan kebudayaan yang mapan nampak tidak lagi ramah, kita gagal memberikan efek sejuk dan harmonis dalam masyarakat kita yang pada gilirannya menghasilkan frustrasi budaya. Salah satu yang signifikan berkontribusi dalam memicu kekerasan adalah persoalan bahasa. Lalu, bahasa mendamaikan atau memicu kekerasan?
Kesadaran berbahasa
Bahasa adalah bagian terpenting membentuk budaya sebuah bangsa. Secara terus menerus, bahasa merupakan piranti sosial yang mampu menjadikan masyarakat memiliki identitas. Melalui komunikasi oleh anggota masyarakat bahasa berperan selain sebagai alat komunikasi yang menunjukkan identitas dan karakter seseorang, tinggi rendahnya kualitas komunikasi lisan maupun tulisan seseorang dapat dilihat dari bahasa yang digunakan.
Semakin baik bahasa yang digunakan dalam komunikasi oleh pembicara maupun penulis, maka semakin mudah pula pendengar dan pembaca mendapatkan maksud dari pesan tersebut. Sebaliknya, apabila pembicara atau penulis menggunakan bahasa yang asal-asalan bahkan tidak sesuai dengan struktur kalimat yang seharusnya, maka interpretasi dari makna ungkapan tersebut akan lain dari apa yang diinginkan dan tidak jarang akan menimbulkan konflik serta kekerasan.
Dalam berkomunikasi verbal maupun tekstual, masyarakat cenderung mengunakan bahasa yang serampangan dan asal-asalan, hal ini diakibatkan karena komunikan menginginkan kemudahan dalam memilih kalimat yang digunakan. Tetapi kalimat tersebut tanpa disadari menimbulkan arti berbeda bagi pendengar dan pembaca. Kesalahan penggunaan kata dalam bahasa lisan maupun tulisan akan berakibat fatal bagi makna yang terkandung, apalagi penghilangan beberapa kata dalam suatu ungkapan dan kalimat tertentu secara langsung akan menimbulkan interpretasi yang berbeda dari pembaca dan pendengar.
Penggunaan bahasa yang tidak tepat sering menimbulkan konflik, sebab setiap kata yang menjadi ungkapan mengandung makna dan makna itu terbentuk berdasarkan persepsi dan interpretasi orang yang terlibat dalam proses komunikasi. Ketidaktepatan pilihan kata yang digunakan akan menghasilkan persepsi yang tidak sesuai dengan harapan para komunikan. Kesalahan persepsi akan menjadi hambatan yang besar dalam proses komunikasi, bila hambatan yang ada tidak dikelola secara baik maka akan menimbulkan konflik, permusuhan, dan bahkan perang.
Beberapa waktu lalu, kita mendengar penggunaan kata “bangsat” dan “setan “oleh anggota DPR telah memicu timbulnya konflik antara elit politik di Indonesia. Apapun alasannya, penggunaan kata kasar oleh anggota DPR yang terhormat tidak bisa diterima. Anggota DPR seharusnya menggunakan bahasa yang santun sebab keberadaan mereka merupakan representasi dari rakyat Indonesia. Mereka harus memberikan contoh yang baik kepada publik tentang bagaimana berkomunikasi yang baik. Mereka berbicara bukan mewakili suara mereka sendiri tetapi mereka mewakili suara rakyat sebab mereka dipilih secara langsung oleh rakyat. Wajar saja bila masyarakat memprotes penggunaan kata “bangsat” dan “setan” sebab kedua makna kata itu sangat bertentangan dengan identitas terhormat yang melekat pada anggota dewan.
Bahasa adalah nafas dalam komunikasi, karena tidak ada komunikasi dalam situasi apapun yang lepas dari bahasa sebagai alatnya. Oleh karenanya, bahasa merupakan bagian penting dari kehidupan. Orang tidak bisa hidup tanpa bahasa sebab dalam setiap gerak kehidupan manusia berkaitan dengan bahasa. Karena begitu dekatnya hubungan bahasa dan manusia, sebagian dari kita cenderung kurang menyadari bahasa yang digunakan. Salah satu cara untuk meningkatkan kesadaran bahasa adalah mempelajari bahasa.
Bahasa dan identitas bahasa sangat berkaitan erat dengan penggunanya. Bahkan bahasa dapat merepresentasikan identitas penggunanya. Kata-kata yang terucap dari mulut seseorang dapat memberikan gambaran karakter, kepribadian, sikap, dan pandangan hidup. Jika seseorang menggunakan bahasa kasar maka ia cenderung mempunyai karakter kasar pula. Sebaliknya, jika menggunakan bahasa sopan, maka ia cenderung mempunyai karakter yang sopan pula. Dengan demikian perlunya kesadaran berbahasa yang baik dan mampu merepresentasikan citra diri dan karakter kita sebagai bangsa yang sopan dan beradab.
Kekerasan simbolik
Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan kata-kata kasar kepada seseorang. Kekerasan simbolik sama dampaknya dengan kekerasan fisik, kekerasan simbolik dapat merusak jiwa dan kepribadian seseorang. Lebih parahnya lagi, korban kekerasan simbolik cenderung mewarisi pengalaman kekerasan simboliknya yang alaminya. Akibatnya, orang yang sudah terbiasa dengan kekerasan simbolik akan cenderung mempunyai karakter kasar, emosional, anarkis, dan brutal.
Dalam realitas di masyarakat dapat ditemukan betapa banyak kata atau istilah yang menggambarkan kekerasan, seperti tabok, pukul, jitak, dan lain-lain. Mengapa demikian banyak kata yang berhubungan dengan tindak kekerasan tersebut? Mengikuti teori Boas tentang hubungan bahasa dan budaya, bukankah itu semua menunjukkan dengan gamblang gambaran budaya masyarakat kita yang suka kekerasan?
Berbahasa selalu bersifat publik, artinya bahasa selalu tumbuh bersama di tengah masyarakat. Wittgenstein dalam teori Language Game-nya, menyatakan manusia memperlakukan bahasa bagaikan sebuah permainan di mana ada pemain, penonton dan wasit. Sebuah permainan selalu memiliki aturan yang disepakati. Demikian juga berbahasa, tak sesiapapun bisa dengan seenaknya dan secara anarkis memberi makna dan memahami kata apalagi memaksakan makna sesuai yang dikehendaki tanpa melalui proses konvensi yang merupakan ciri fundamental bahasa.
Kita sering menjumpai berbagai kalimat yang sesungguhnya ambigu secara semantik dan salah penempatan secara pragmatik serta lebih bersifat mendiskreditkan seseorang atau komunitas tertentu ditempat-tempat umum serta kantor-kantor baik pemerintah maupun swasta. Bahkan ironisnya, kalimat-kalimat tersebut justru sering juga kita jumpai di institusi pendidikan dan bahkan di lembaga yang bergerak khusus di bidang bahasa. Kalimat-kalimat tersebut antara lain sebagai berikut:
“Pemulung masuk digebuk”, “Ngebut Benjol”, “Dilarang Kencing Di sini, Kecuali Anjing!”, “Masuk Tanpa salam, Keluar Tanpa Kepala”, “Dilarang Merokok”, “Tidak Menerima Sumbangan Dalam Bentuk Apapun”, “Ada uang Ada barang” “Tamu Harus Lapor!”, “Yang Membawa HP Harus Dimatikan”
Masih banyak kalimat-kalimat yang sengaja ditulis oleh masyarakat dalam kondisi tertentu yang bersifat ambigu dan kesannya merendahkan salah satu pihak dari proses komunikasi ini. Hal-hal diatas tentunya menimbulkan tanda tanya yang besar buat kita, apakah masih layak bangsa ini disebut sebagai bangsa yang beradab, bangsa yang mengedepankan kesopanan, keluwesan, serta selalu santun dalam menggunakan kata dan kalimat?
Fenomena kekerasan dalam masyarakat kontemporer merupakan gugatan terhadap diktum bahwa bangsa ini adalah bangsa yang memiliki budaya luhur dan penuh sopan santun. Faktanya mengkonfirmasi bahwa peradaban-peradaban di dunia dibangun dengan begitu banyak darah, korban nyawa dan harta benda.
Demikian halnya di Indonesia, kata integrasi, kedamaian bukan barang sederhana yang mudah ditemukan, karena telah terjadi pergeseran-pergeseran nilai, struktur sosial dan kebudayaan yang mapan nampak tidak lagi ramah, kita gagal memberikan efek sejuk dan harmonis dalam masyarakat kita yang pada gilirannya menghasilkan frustrasi budaya. Salah satu yang signifikan berkontribusi dalam memicu kekerasan adalah persoalan bahasa. Lalu, bahasa mendamaikan atau memicu kekerasan?
Kesadaran berbahasa
Bahasa adalah bagian terpenting membentuk budaya sebuah bangsa. Secara terus menerus, bahasa merupakan piranti sosial yang mampu menjadikan masyarakat memiliki identitas. Melalui komunikasi oleh anggota masyarakat bahasa berperan selain sebagai alat komunikasi yang menunjukkan identitas dan karakter seseorang, tinggi rendahnya kualitas komunikasi lisan maupun tulisan seseorang dapat dilihat dari bahasa yang digunakan.
Semakin baik bahasa yang digunakan dalam komunikasi oleh pembicara maupun penulis, maka semakin mudah pula pendengar dan pembaca mendapatkan maksud dari pesan tersebut. Sebaliknya, apabila pembicara atau penulis menggunakan bahasa yang asal-asalan bahkan tidak sesuai dengan struktur kalimat yang seharusnya, maka interpretasi dari makna ungkapan tersebut akan lain dari apa yang diinginkan dan tidak jarang akan menimbulkan konflik serta kekerasan.
Dalam berkomunikasi verbal maupun tekstual, masyarakat cenderung mengunakan bahasa yang serampangan dan asal-asalan, hal ini diakibatkan karena komunikan menginginkan kemudahan dalam memilih kalimat yang digunakan. Tetapi kalimat tersebut tanpa disadari menimbulkan arti berbeda bagi pendengar dan pembaca. Kesalahan penggunaan kata dalam bahasa lisan maupun tulisan akan berakibat fatal bagi makna yang terkandung, apalagi penghilangan beberapa kata dalam suatu ungkapan dan kalimat tertentu secara langsung akan menimbulkan interpretasi yang berbeda dari pembaca dan pendengar.
Penggunaan bahasa yang tidak tepat sering menimbulkan konflik, sebab setiap kata yang menjadi ungkapan mengandung makna dan makna itu terbentuk berdasarkan persepsi dan interpretasi orang yang terlibat dalam proses komunikasi. Ketidaktepatan pilihan kata yang digunakan akan menghasilkan persepsi yang tidak sesuai dengan harapan para komunikan. Kesalahan persepsi akan menjadi hambatan yang besar dalam proses komunikasi, bila hambatan yang ada tidak dikelola secara baik maka akan menimbulkan konflik, permusuhan, dan bahkan perang.
Beberapa waktu lalu, kita mendengar penggunaan kata “bangsat” dan “setan “oleh anggota DPR telah memicu timbulnya konflik antara elit politik di Indonesia. Apapun alasannya, penggunaan kata kasar oleh anggota DPR yang terhormat tidak bisa diterima. Anggota DPR seharusnya menggunakan bahasa yang santun sebab keberadaan mereka merupakan representasi dari rakyat Indonesia. Mereka harus memberikan contoh yang baik kepada publik tentang bagaimana berkomunikasi yang baik. Mereka berbicara bukan mewakili suara mereka sendiri tetapi mereka mewakili suara rakyat sebab mereka dipilih secara langsung oleh rakyat. Wajar saja bila masyarakat memprotes penggunaan kata “bangsat” dan “setan” sebab kedua makna kata itu sangat bertentangan dengan identitas terhormat yang melekat pada anggota dewan.
Bahasa adalah nafas dalam komunikasi, karena tidak ada komunikasi dalam situasi apapun yang lepas dari bahasa sebagai alatnya. Oleh karenanya, bahasa merupakan bagian penting dari kehidupan. Orang tidak bisa hidup tanpa bahasa sebab dalam setiap gerak kehidupan manusia berkaitan dengan bahasa. Karena begitu dekatnya hubungan bahasa dan manusia, sebagian dari kita cenderung kurang menyadari bahasa yang digunakan. Salah satu cara untuk meningkatkan kesadaran bahasa adalah mempelajari bahasa.
Bahasa dan identitas bahasa sangat berkaitan erat dengan penggunanya. Bahkan bahasa dapat merepresentasikan identitas penggunanya. Kata-kata yang terucap dari mulut seseorang dapat memberikan gambaran karakter, kepribadian, sikap, dan pandangan hidup. Jika seseorang menggunakan bahasa kasar maka ia cenderung mempunyai karakter kasar pula. Sebaliknya, jika menggunakan bahasa sopan, maka ia cenderung mempunyai karakter yang sopan pula. Dengan demikian perlunya kesadaran berbahasa yang baik dan mampu merepresentasikan citra diri dan karakter kita sebagai bangsa yang sopan dan beradab.
Kekerasan simbolik
Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan kata-kata kasar kepada seseorang. Kekerasan simbolik sama dampaknya dengan kekerasan fisik, kekerasan simbolik dapat merusak jiwa dan kepribadian seseorang. Lebih parahnya lagi, korban kekerasan simbolik cenderung mewarisi pengalaman kekerasan simboliknya yang alaminya. Akibatnya, orang yang sudah terbiasa dengan kekerasan simbolik akan cenderung mempunyai karakter kasar, emosional, anarkis, dan brutal.
Dalam realitas di masyarakat dapat ditemukan betapa banyak kata atau istilah yang menggambarkan kekerasan, seperti tabok, pukul, jitak, dan lain-lain. Mengapa demikian banyak kata yang berhubungan dengan tindak kekerasan tersebut? Mengikuti teori Boas tentang hubungan bahasa dan budaya, bukankah itu semua menunjukkan dengan gamblang gambaran budaya masyarakat kita yang suka kekerasan?
Berbahasa selalu bersifat publik, artinya bahasa selalu tumbuh bersama di tengah masyarakat. Wittgenstein dalam teori Language Game-nya, menyatakan manusia memperlakukan bahasa bagaikan sebuah permainan di mana ada pemain, penonton dan wasit. Sebuah permainan selalu memiliki aturan yang disepakati. Demikian juga berbahasa, tak sesiapapun bisa dengan seenaknya dan secara anarkis memberi makna dan memahami kata apalagi memaksakan makna sesuai yang dikehendaki tanpa melalui proses konvensi yang merupakan ciri fundamental bahasa.
Kita sering menjumpai berbagai kalimat yang sesungguhnya ambigu secara semantik dan salah penempatan secara pragmatik serta lebih bersifat mendiskreditkan seseorang atau komunitas tertentu ditempat-tempat umum serta kantor-kantor baik pemerintah maupun swasta. Bahkan ironisnya, kalimat-kalimat tersebut justru sering juga kita jumpai di institusi pendidikan dan bahkan di lembaga yang bergerak khusus di bidang bahasa. Kalimat-kalimat tersebut antara lain sebagai berikut:
“Pemulung masuk digebuk”, “Ngebut Benjol”, “Dilarang Kencing Di sini, Kecuali Anjing!”, “Masuk Tanpa salam, Keluar Tanpa Kepala”, “Dilarang Merokok”, “Tidak Menerima Sumbangan Dalam Bentuk Apapun”, “Ada uang Ada barang” “Tamu Harus Lapor!”, “Yang Membawa HP Harus Dimatikan”
Masih banyak kalimat-kalimat yang sengaja ditulis oleh masyarakat dalam kondisi tertentu yang bersifat ambigu dan kesannya merendahkan salah satu pihak dari proses komunikasi ini. Hal-hal diatas tentunya menimbulkan tanda tanya yang besar buat kita, apakah masih layak bangsa ini disebut sebagai bangsa yang beradab, bangsa yang mengedepankan kesopanan, keluwesan, serta selalu santun dalam menggunakan kata dan kalimat?
Maka tidak aneh bila kekerasan di
Indonesia sudah menjadi budaya yang terus menerus memperkuat akarnya karena
perilaku sehari-hari kita sendiri. Oleh karena itu perhatian orang tua dalam
mendidik, berperilaku dan bertutur katalah yang amat berperan penting dalam
membangun generasi bangsa selanjutnya yang mungkin bisa mengembalikan julukan
bangsa ini yang sering diberikan oleh orang-orang asing yaitu “Bangsa yang
santun dan ramah”.
2 komentar:
maaf ya teman, mau kasih masukan nih kita kan anak gundar,kita jg udah masuk ke pembelajaran mata kuliah softskill ayo dong blognya disisipin
link Universitas Gunadarma misalnya kaya gini nih
* www.gunadarma.ac.id
* www.studentsite.gunadarma.ac.id
* www.baak.gunadarma.ac.id
* dll.
ini buat kriteria penilaian mata kuliah softskill temen2 :D
oke thanks untuk infonya :D
Posting Komentar